Kamis, 10 Oktober 2013
kisah sufi
Orang-Orang Buta dan
Gajah
Di seberang negeri Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang
raja beserta rombongannya lewat dekat kota itu; ia membawa pasukan dan bertenda
di gurun. Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk
berperang dan membuat rakyat kagum.
Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan
beberapa dari mereka yang buta itu pun berlari seperti orang tolol untuk
mendekatinya.
Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa
meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya.
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui
sesuatu.
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera mengerubungi
mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran
kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang
disampaikan.
Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah.
Jawabnya, "Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan lebar seperti
permadani."
Lalu, orang yang meraba belalai gajah berkata, "Aku tahu yang lebih
benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip pipa lurus bergema, mengerikan dan
suka merusak."
Terakhir, orang yang memegang kaki gajah berkata, "Gajah itu kuat dan
tegak, seperti tiang."
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian saja, dan keliru memahaminya. Tak
ada akal yang tahu segalanya: pengetahuan bukanlah sahabat orang buta. Semua
membayangkan sesuatu, sesuatu yang salah.
Ciptaan tidak mengetahui tentang keilahian. Tak ada jalan dalam pengetahuan
ini yang bisa ditempuh dengan kemampuan biasa.
Kisah ini lebih populer dalam versi Rumi, The Elephant in The Dark
House, yang dimuat dalam Mathnawi. Guru Rumi, Hakim Sanai,
lebih dahulu mengisahkan kisah ini lewat buku pertamanya, sebuah karya klasik
The Walled Garden of the Truth. Beliau wafat talus 1150.
Kedua kisah tersebut pada dasarnya berbicara tentang hal yang sama, yang
menurut tradisi, telah digunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.
| |
Rabu, 09 Oktober 2013
RPP FIQIH KELAS VII MELAKSANAKAN KETENTUAN TAHARAH
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( R
P P )
MTs :
...............................................
Mata Pelajaran : Fiqih
Kelas/Semester : VII / 1
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit (1 Kali pertemuan)
A.
Standar Kompetensi
1. Melaksanakan ketentuan taharah (bersuci)
B.
Kompetensi Dasar
1.2 Menjelaskan hadatst kecil dan tatacara thaharahnya
(bersucinya )
C.
Tujuan Pembelajaran
§ Siswa dapat menyebutkan syarat
dan rukun wudhu’’
§ Siswa dapat menyebutkan sunnah-sunnah wudhu’’
§ Siswa dapat menyebutkan hal-hal yang membatalkan wudhu’’
§
Siswa dapat mempraktikkan wudhu
D.
Materi Pembelajaran
§
Wudhu’’
E.
Metode Pembelajaran
§ Ceramah : Metode ini digunakan untuk memulai kegiatan pembelajaran terutama
untuk kegiatan awal.
§ Kerjak kelompok: kegiatan ini digunakan untuk mengumpulkan informasi
tentang wudhu’’
§ Diskusi: Metode ini digunakan untuk mendialogkan tema
yang berkemaan dengan materi kegiatan pembelajaran
§
Pameran dan
Shopping : pajangan hasil diskusi/kerja kelompok dan saling mengomentari
pajangan
F.
Langkah-langkah Pembelajaran
No
|
Uraian Kegiatan
|
Waktu
|
1
|
Kegiatan awal :
Apersepsi :
§
Memberikan
pertanyaan seputar pelajaran yang lalu dan materi wudhu’’
Motivasi :
§
Memberikan informasi tentang
tujuan dan manfaat mempelajari seputar wudhu’’
|
10 menit
|
2
|
Kegiatan Inti
:
§
Siswa
membaca literatur/referensi tentang wudhu’’. (fase
eksplorasi)
§
Siswa mengamati
demonstrasi guru tentang cara wudhu’’ (fase eksplorasi)
§
Membuat
bagan wudhu’’ dan tentang cara wudhu’’ (fase elaborasi)
§
Pameran bagan dan saling
mengomentari (fase elaborasi)
§
Salah seorang siswa mempraktekkan
tatacara wudhu’’ dan
tentang cara wudhu’’
sementara
yang lain memperhatikan dan mencatat mencatat pokok-pokok penting dari hasil
kegiatan pengamatan (fase elaborasi)
§
Penguatan tentang wudhu’’ dan tentang cara wudhu’’ (fase
konfirmasi)
|
60 Menit
|
3
|
Kegiatan akhir :
§
Tanya jawab tentang materi wudhu’’ dan tentang cara wudhu’’.
§
Guru memberikan tugas untuk
mencari pengertian wudhu’’ dan tentang cara wudhu’’ untuk pertemuan selanjutnya.
|
10 menit
|
G.
Sumber belajar dan media pembelajaran
§ Buku paket Fikih
kelas VII
§
LKS Arya Duta
§ Lembar
observasi
§ Lembar
penilaian
§ Boneka
§ Batu, kertas,tissue,daun kering,kaca,plastik,batu apung,
batu kali
§ Air
§
Gambar
peragaan wudhu
H.
Penilaian
Indikator Pencapaian
|
Jenis Penilaian
|
Bentuk Penilaian
|
Contoh Instrumen
|
§
Siswa
dapat menjelaskan pengertian wudhu’’
§
Siswa
dapat menetukan syarat dan rukun wudhu
§
Siswa
dapat menunjukkan sunnah wudhu
§
Siswa
dapat mengemukakan hal-hal yang
membatalkan wudhu
§ Siswa dapat mempraktekkan
tata cara wudhu
|
Tes unjuk kerja
Observasi
Performan
|
Uraian
Uraian
Uraian
|
§
Jelaskan apa
pengertian wudhu’’ !
§
Sebutkanlah syarat dan rukun wudhu !
§ Sebutkanlah sunnah-sunnah wudhu !
|
Mengetahui
Kepala Madrasah
...........................................
NIP.
|
|
..............
, ............................
Guru Bidang
Studi Fiqih
..........................................
NIP.
|
Selasa, 08 Oktober 2013
FORMAT PENGAJUAN JUDUL STAI MUARA BULIAN
Muara
Bulian, Oktober 2013
Lampiran : 1 (satu) berkas
Perihal : Pengajuan Judul
Proposal Skripsi
Kepada
Yth, ………………………………….
c.q. Pembantu Ketua I
Batang
Hari
Di –
Muara Bulian
Assalamua’alaikum
Wr. Wb
Dengan hormat, dalam rangka memenuhi
syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam Ilmu
Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Batang Hari Muara Bulian,
dengan ini kami :
Nama :
NIM/NIMKO :
Jurusan :
Semester /Lokal :
Tahun Akademik :
2013 – 2014
KHS Nilai : Bimbingan Skripsi dan Metode Riset
Mengajukan judul
proposal Skripsi yaitu sebagai berikut :
1. …………………………….
Dengan
alasan sebagai berikut
a. ……………………………
b. ……………………………
2. …………………………….
Dengan
alasan sebagai berikut
a. ……………………………
b. ……………………………
Demikianlah atas
perkenaan dan persetujuan Bapak, kami ucapkan terima kasih.
Wassalam’alaikum. Wr.Wr.
Pemohon
____________
JUDUL SKRIPSI TERBARU 2013
1. Pengaruh Pendidikan Agama dalam Keluarga
terhadap Sikap Keagamaan Siswa ……………..
2. Toleransi antar umat beragama dan pengaruhnya
terhadap Perkembangan Islam di Kec. …………….Kab. …………………..
3. Penerapan Manajemen Pembelajaran Sebagai Usaha
Peningkatan Prestasi Belajar Siswa MAN …………………..
4. Pengaruh Pemberian Remedial Langsung terhadap
Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam pada Siswa Kls. VIII ………………………..
5. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Minat Remaja
Mengikuti Shalat Berjamaah dan Upaya untuk Mengatasinya di Desa …………..Kec. …………Kab…………………
6. Kompleksitas Kehidupan Beragama Remaja Studi
Kasus ………………Kec…………..Kab……………….
7. Efektifitas Metode Belajar Advokasi dalam
Meningkatkan Minat Belajar terhadap Pendidikan Agama Islam di SMK Negeri ………………………
8. Pengaruh Penerapan Metode Mengajar terhadap
Daya Serap Bahan Ajar Siswa SMP Neg. …………………………..
9. Dampak Perilaku Guru Terhadap Mutu Pendidikan
di SMA Negeri …………………
10. Problematika Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap
Pembentukan Kepribadian Anak di Desa ……………….Kec. ………………………..
11. Eksistensi Penyuluh Agama Islam dalam
Meningkatkan Pengajaran Pengajian Dasar Al-Qur'an pada …………………….di Desa ………………..Kab…………………
12. Pengaruh Kepribadian dan Kewibawaan Guru
Terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Madrasah ………………………………
Senin, 07 Oktober 2013
Pramodifikasi Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyusun makalah
tentang takhrij hadist. Adapun tujuan penyusunan makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah ulumul hadist.
Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana
kedudukan hadist disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah
al-qur’an. Didalam ilmu hadist pun terdapat pula sejarah dan perkembangan
hadist pada masa prakodifikasi, yang mungkin belum diketahui oleh teman-teman.
Oleh karena itu kami menyusun makalah ini dengan harapan memberi pengetahuan
pada penyusun khusunya dan pada pembaca pada umumnya. Tiada gading yang tak
retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.
A. Latar
Belakang Masalah
Keberadaan
hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi,
zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14. Perkembangan
hadist pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadist. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadist. Selain itu juga disebabkan fokus
Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan
tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in besar. Bahkan dengan Khalifah yang
lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadist secara resmi dimulai pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H). Terlepas dari naik turunnya
perkembangan hadist, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadist
memberikan pengaruh besar dalam sejarah peradaban islam.
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana sejarah perkembanagn
hadist pada masa Rasulullah SAW ?
- Bagaimana sejarah perkembangan
hadist pada masa Sahabat (Khulafa’ Al-Rasyidin) ?
- Bagaimana sejarah perkembangan
hadist pada masa Tabi’in ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasul
SAW berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya
akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadist. Rasul membina
umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan
sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk lebih memahami kondisi/
keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang
berkaitan:
Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini
yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung
memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana
tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah
masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan
ketika beliau mukim (berada dirumah).
Dalam riwayat Imam Bukhori,
disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan
hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :
Pertama, melalui para jama’ah yang
berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan,
Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu,
kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato
ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.
Untuk hal-hal tertentu, seperti yang
berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan
melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya
kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
Keadaan para sahabat dalam meneriam
dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan
hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang
memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini
disebabkan karena:
- Perbedaan mereka dalam hal
kesempatan bersama Rasulullah SAW.
- Perbedaan dalam soal hafalan
dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
- Perbedaan dalam hal waktu masuk
Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
- Perbedaan dalam ketrampilan
menulis, untuk menulis hadist.
Ada
beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka
adalah:
- Para sahabat yang termasuk
As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin
Affan, Ali bin Abi Tahlib.
- Ummahat Al-Mu’minin
(istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang
diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat
pergaulan suami istri.
- Para sahabat yang disamping
dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti
Abdullah Amr bin Ash.
- Sahabat yang meskipun tidak
lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan
kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti
Abu Hurairah.
- Sahabat yang secara
sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat
lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan
dan Tulisan.
1.
Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an
dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi
instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau
secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang
lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
a. Kegiatan
menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
b. Mereka
terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.
c. Rasulullah
banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan
dan dapat mencapai derajat yang tinggi.
d. Dan
Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan
hadist dan menyampaikan kepada orang lain.
Aktifitas menulis hadist
Keadaan
Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan
hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب
عنّى سيئا غير القر ان فليمح.
”jangan
menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya
selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi
disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan
penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من
فمن الاالحق.
”
tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari
mulutku kecuali yang hak”.
Dua
hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya
sebagai berikut:
a. Bahwa
larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar
hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum
muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum
larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b. Bahwa
larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat
khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari
kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti
Abdullauh bin Amr bin Ash.
c. Bahwa
larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada
menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut
hafalannya.
B.
Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
1.
Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan
hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar,
Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung
sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
Sahabat dan Periwayatan Hadist
- Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya,
Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an
dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :
تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian
dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu
kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan Rasul Saw sangat
mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang
tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan
mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
- Berhati-hati dalam Meriwayatkan
dan Menerima Hadist.
Perhatian sahabat pada masa ini
terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an, ini
terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn
Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga
melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam
dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan
Kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa
pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab,
seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an.
Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW
sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya
masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini,
ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal
membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan
pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
- Periwayatan Hadist dengan
Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan
periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat
kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam
batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan
ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara
ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam
meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya
saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak
persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul
SAW tanpa ada perubahan.
Abu Bakar
Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu,
misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang
padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak
laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik
dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai
saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta
peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar
amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami
bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan
tertentu hadist nabi ditulisnya.
Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah berkata, sebagai
dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras
menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang
membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan
seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang
memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar
kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti
periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah
nabi pada penduduk negeri.
Sikap kehati-hatian kedua sahabat
tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam
sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum
yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi
untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan
karena:
1. Agar
tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
2. Para
sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai
daerah kekuasaan Islam.
3. Soal
membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.
Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
2.
Hadist pada masa Tabi’in
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan
yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa
ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang
telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin kebeberapa
wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadist.
Ketika
pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi
Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan,
Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam
tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu,
masa itu dikenal masa penyebaran periwayatan hadist.
Hadist-hadist
yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk
catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping
dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang
mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak
ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Pada
masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya
perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin
Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan
terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah,
Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok
tersebut.
Dari
persoalan politik diatas langsung atau tidak langsung cukup memberikan
pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadist berikutnya.
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif mendukung kepentingan politik
masing-masing kelompok menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang
berakibat positif adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan
pemalsuan.
BAB III
KESIMPULAN
Sejarah
hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah
memahaminya, berikut uraiannya.
I. Hadist pada masa Rasul SAW
Dalam
masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:
- Cara rasul menyampaikan hadist,
melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat
terbuka, dan lain-lain.
- Keadaan para sahabat dalam
menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing
sahabat.
- Pemeliharaan hadist melalui
hafalan dan tulisan.
II. Hadist pada masa sahabat
Kehati-hatian
para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan
secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :
- Agar tidak memalingkan
perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
- Para sahabat yang banyak
menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan
Islam.
- Soal membukukan hadist,
dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
III. Hadist pada masa tabi’in
Pada masa ini juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis
hadist, dan ada bebrapa hal yang begitu berpengaruh dalam hal perkembangan
hadist, diantara pengaruh positif yang ada adalah hadist sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, ilmu hadist,
Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002 Al- Ramaharmuzi, Al-Muhaddis Al-Fashil
Baina ar-Rawi wa al-wa’I (Beirut: Al-Fikr)
Imam Malik, al-Muwatha’ juz 2. Hlm
56. periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi, dan sa’ad ibn Majjah.
Langganan:
Postingan (Atom)