Senin, 07 Oktober 2013

Hadits Mutawatir

BAB I
PENDAHULUAN

Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi  kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist. Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir, Masyhur dan Ahad.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadist  Mutawatir
1.       Pengertian
a.       Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut.
b.      Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk  berdusta.
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Pengertian di atas, kalau kita pecah-pecah akan terdapat tiga syarat bagi Mutawatir yaitu:
a.        Mesti banyak sanadnya.
b.       Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya: dipermulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya, sedikitnya mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun sedikitnya mesti 50 orang.
c.        Mesti menurut pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul bersama-sama, lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu dengan disengaja atau kebetulan.
2.       Syarat-syarat Hadist Mutawatir
Dengan definisi di atas, dipahami bahwa suatu hadist bias dikatakan mutawatir  apabila telah memenuhi 4 syarat, yakni:
a.       Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal sepuluh perawi.
b.      Perawi yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
c.       Secara rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat untuk berdusta.
d.      Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: سمعنا  (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadist tersebut tidak dinamakan mutawatir.

3.       Hukum  Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir  sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir  tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup denga bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya   namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.

B.     Hadist Ahad
1.       Pengertian
a.        Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
b.       Menurut istilah, hadist ahad adalah:
هو مالم يجمع شروط المتواتر
Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir.
Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.
2.       Macam-macam Hadist Ahad
Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib.
a.        Hadist Masyhur
1)      Pengertian Hadis Masyhur
Hadist masyhur  adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batasan mutawatir. Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.

b.       Hadist Aziz
Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ini adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh Imam Nawawi. Hadist riwayat dua atau tiga perawi dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
Contoh hadist yang dikategorikan aziz, di antaranya:
لا يؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده و الناس اجمعين
Artinya: Belum sempurna iman seseorang jika ia belum mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang.


c.        Hadist Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari sanak keluarganya, namun sebatas pengkategorian kasus. Pendapat ini dianut oleh Muhammad Adib Sholeh.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi  menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at thabi’un). Dengan  demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1.        Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan lainnya.
2.        Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih menyisakan persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad  yakni hadist yang dilihat dari sisi penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir  atau terkadang mendekati jumlah hadist mutawatir berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
1.        Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2.        Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.

3.        Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar